Minggu, 22 November 2009

Sejarah peninggalan Hindhu Budha di Malang Raya

KEPURBAKALAAN KERAJAAN BERCORAK HINDU BUDHA
DI MALANG RAYA




Malang merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Jawa Timur. Batas-batas wilayah kabupaten Malang adalah :
• Utara : Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan
• Timur : Kabupaten Lumajang
• Barat : Kabupaten Kediri dan Blitar
• Selatan : Samudra Hindia

Batas bentang alamnya adalah :
• Utara : Gunung Arjuna, Welirang dan Anjasmara
• Timur : Gunung Bromo, Semeru dan Tengger
• Barat : Gunung Kawi dan kelud
• Selatan : Pegunungan Kapur Selatan dan Samudra Hindia

Di kabupaten Malang juga terdapat beberapa peninggalan-peninggalan nenek moyang kita seperti kerajaan, prasasti, dan candi-candi. Peninggalan – peninggalan nenek moyang kita tersebut antara lain Kerajaan Kanjuruhan, Candi badut, Candi Songgoriti, prasasti Sangguran, Dinasti Isyana, Kerajaan Tumapel, Candi Kidal, dan lain sebagainya.

KERAJAAN KANJURUHAN


Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
• Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
• Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
• Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
• Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
• Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
• Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
• Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
• Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
• Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok

Salah satu Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.


CANDI BADUT


Candi Badut terletak di Dsn. Gasek, Ds. Karangbesuki, Kec. Sukun, Kota Malan. Situs ini dinamakan Candi Badut karena terletak di dukuh Badut. Asal usul istilah Badut terdapat beberapa pendapat antara lain :
- Manurut penduduk setempat istilah Badut diambil dari nama sejenis pohon nangka yang dahulu pernah tumbuh di daerah ini, dan salah satunya tumbuh di area candi ketika diketemukan masih dalam keadaan reruntuhan. Dengan demikian candi ini dinamakan Badut sesuai dengan nama pohon Badut yang dahulu tumbuh disini.
- Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, Nama Badut diambil dari nama raja Karajaan Kanjuruhan yang di duga membangun Candi tersebut. Nama kecil Sang Raja yaitu Liswa, yang ketika menjadi Raja bergelar Gajayana. Istilah Liswa adalah bahasa jawa kuna yang artinya sekarang sama dengan pelawak atau bisa juga disebut badut.
- Menurut Van der Meulen, Nama Badut diambil dari nama Rsy Agastya, seorang Rsy yang Di Agung-agungkan oleh Raja Gajayana. Istilah Badut menurutnya diambil dari kata ”Ba” dan ”Dyut”, Ba= Bintang Agastya (Cnopus), dan Dyut= Sinar/Cahaya, jadi Badyut berarti Cahaya bintang Agastya. Van der Meulen membuat perbandingan dengan penamaan candi Mendut, yang menurutnya berasal dari kata Men=sorot, dan Dyut= Cahaya.
Pada tahun 1921 M dimana semula hanya berbentuk gundukan bukit berbatu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan situs ini adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Antara tahun 1925-1927 M Candi Badut di bangun kembali dibawah pengawasan B. De Haan dari jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh kecuali bagian kaki candi yang masih dapat dilihat susunannya. Pada tahun 1926 seluruh bagian kaki dan tubuh candi dapat dibangun kembali, kecuali bagian atapnya yang tidak dapat diketemukan kembali. Setelah kemerdekaan NKRI, pada tahun 1990-1993 M dilaksanakan pemugaran lebih lanjut oleh Kanwil Dekdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timr, melalui proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, yang dilakukan secara bertahap.

Deskripsi Bangunan
Gaya arsitektur Candi Badut merupakan bentuk dan gaya kesenian yang berkembang pada abad ke VIII-X M sehingga disebut candi berlanggam jawa tengah.
Denah Candi Badut berbentuk kosentris. Dahulunya Candi ini dikelilingi oleh tembok batu yang sekarang sudah menghilang samasekali. Candi utama menghadap barat,dan di depannya terdapat tiga candi perwara yang sekarang hanya tinggal pondasinya saja. Pada candi perwara bagian tengah dulu terdapat arca Nandi, sedangkan dua candi yang ada di utara dan selatannya terdapat lingga dan yoni. Sekarang lingga dan yoni tersebut berada di sisi selatan halaman candi Badut. Di halaman candi sebelah Utara dan selatan terdapat dua batu berbentuk kubus dengan sebuah lubang secara vertikal persegi empat. Sama dengan yang lain, Candi badut di bagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki Candi (Upapitha) yang disebut Bhurloka, merupakan gambaran dunia manusia, bagian tubuh candi (Vimana) disebut Bwarloka, gambaran alam antara, dan puncak (Shikara) disebut (Swahloka), merupakan gambaran alam sorgawi tempat para dewa bersemayam.
Pada kaki Candi Badut sisi Barat terdapat tangga masuk, dimana pada pipi tangga masuk diberi hiasan kepala kala yang menjulurkan lidahnya kebawah membentuk hiasan lengkung makara. Pada sisi samping kanan dan kiri tangga naik terdapat hiasan dua ekor burung kinara dan kinari yang berwujud burung berkepala manusia. Diatas ambang pintu masuk ruang utama, terdapat kepala Kala tanpa rahang bawah yang disambung dengan hiasan makara di kanan-kiri pintu, hiasan inilah yang disebut sebagai ”Kalamakara” dipercaya sebgai penolak kekuatan jahat. Pada samping kiri dan kanan pintu ruang utama terdapar relung, dimana relung sebelah utara dahulu berisi arca Mahakala dan relung sebelah Selatan dahulu berisi arca Nandiswara. Sebelum memasuki ruang utama, dilakukan terlebih dahulu mapradaksina yaitu berjalan mengitari candi kearah kanan candi atau searah dengan jarum jam.
Pada sisi Candi bagian Utara terdapat relung yang berisi arca Dewi Durga Mahesasuramardhini tanpa kepala. Durga= Dewi pembasmi, Mahisa=lembu, asura= nama Raksasa, Mardini= pembunuh. Dalam mitologi agama Hindu, dahulu kala ada raksasa bernama Asura yang mengacau kahyangan, sampai-sampai para dewa pun kualahan menghadapinya. Untuk menghentikan aksi raksasa Asura maka dari diri Dewa Brahma, Dewa Siwa dan dewa Wisnu keluar api suci yang menyatu (Fusion), dari peristiwa inilah tercipta Dewi perang sekaligus Dewi Maut yakni ”Dewi Durga”yang Agung bertangan delapan. Setelah tercipta maka para Dewa menganugerahkan berbagai pusaka perlengkapan perang. Karena takut dan merasa terdesak maka raksasa Asura menjelma menjadi seekor lembu, namun Dewi Durga mampu menemukannya dan berhasil mengalahkan raksasa Asura. Peristiwa penaklukan raksasa asura ini di abadikan pada nama dan Arca Dewi Durga dengan berbagai senjata pusakanya menginjak punggung lembu dan menarik ekornya. Pada tangan yang lain menarik rambut raksasa Asura yang keluar dari tubuh lembu jelmaannya tadi.
Pada sisi timur atau belakang candi terdapat relung yang seharusnya dahulu berisi arca Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dan penghancur rintangan yaitu anak Dewa Siwa. Ganesha berwujudkan tubuh manusia namun berkepala Gajah. Tangannya ada empat masing-masing membawa kapak, tasbih, dan mangkuk. Sebagai dewa ilmu pengetahuan, hal ini dilambangkan oleh belalainya yang menghisap madu pada mangkuk yang berwujut tengkorak, serta perutnya yang buncit (lambodhara). Sedangkan sisi candi bagian Selatan terdapat relung yang dahulunya untuk arca Rsi Agastya atau sering pula disebut sebagai Siwa Mahaguru. Arcanya digambarkan sebagai orang tua berperut buncit yang melambangkan kekayaan dalam berbagai ilmu keagamaan, serta berjanggut dan berkumis lebat. Memakai sorban atau terkadang rambutnya disanggul. Membawa tasbih dan taklupa Kendi Amerta. Pada pundak kiri terdapat kebut/pengusir lalat (Camara), sedang sisi kanan terdapat Trisula. Namun dari semua relung luar hanya bagian utara saja yang masih terdapat arca Dewi Durga.
Setelah melakukan mapradaksina maka saatnya memasuki ruang utama candi Badut. Didalam ruangan sekarang tinggal sebuah kesatuan dari Lingga dan Yoni sebagai lambang kesuburan, selain itu juga merupakan perwujudan atas kehadiran dewa Siwa (lingga) dan Caktinya (istrinya) dewi Parwati. Didalam ruang utama ini juga terdapat lima relung kosong yang diduga dahulu sebagai tempat Arca dewa.

Latar Belakang Keagamaan
Dilihat dari beberapa panteon yang di temukan pada Situs candi Badut,seperti Arca Durga Mahisasuramardini, arca Nandi, beberapa relung kosong yang seharusnya berisi arca dewa-dewa hindu, dan yang paling penting adalah Lingga-Yoni pengganti arca Siwa sebagai pusat puja saji dalam ajaran Hindu-Siwa maka jelas bahwa Candi Badut merupakan Dewa Greha yang berlatarkan agama Hindu aliran Caiwa.


CANDI SONGGORITI

Candi Songgoriti terletak di Ds. Songgokerto, Kodya Batu. Malang Raya. Situs Candi Songgoriti berada didalam area Hotel Songgoriti, beberapa bagian bangunan Candi telah dibangun tanpa ketentuan Arkaeologi.
Candi Songgoriti, istilah ”Songgoriti” dalam bahasa jawa kuno berarti ”timbunan logam” hal ini tentu masih ada hubungannya dengan nama desa Songgokerto yang berarti ”timbunan kemakmuran”. Candi ini diperkenalkan pertama kali oleh Van I Isseldijk pada tahun 1799 M, kemudian Rigg pada tahun 1849 M dan Brumund pada tahun 1863 M. Pada tahun 1902 M Knebel melakukan inventarisasi pada situs Candi Songgoriti dan dilanjutkan dengan perbaikan (renovasi) pada tahun 1921 M. Pada saat renovasi pada tahun 1938 di dalam tanah dekat alas candi, diketemukan empat buah peti batu yang berisikan Lingga dari Emas, Yoni dari perunggu, mata uang dan kepingan emas yang bertuliskan nama dewa-dewa.
Ada sebuah Prasasti yang ditemukan tak jauh dari daerah situs Candi Songgoriti yaitu Prasasti Sangguran atau Batu Minto bertarikh 850 C atau 928 M, yang dikeluarkan atas perintah raja Wawa. Prasasti yang ditemukan di dukuh Ngandat, kota batu ini, memberitakan bahwa raja dan Mahamantri I Hino Pu Sindok bernadzar untuk menjadikan Desa sangguran wilayah watak Kanuruhan suatu perdikan dari Bhatara di suatu bangunan suci yang ada di daerah sima kanjurugusalyan di Mananjung. Yang menarik dari prasasti ini adalah disebutkannya sima khushus bagi para juru gusali, yaitu para pandai (logam). Ini sesuai dengan nama-nama desa di sekitar candi Songgoriti berada.

Diskripsi Bangunan
Keunikan Candi Songgoriti :
• pembangunannya diatas sumber mata air panas yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
• terbuat dari batu andesit, sedangkan pondasinya dari batu bata.
• Secara arsitektural bangunan Candi songgoriti terdiri atas Kaki Candi, tubuh Candi, dan Atap Candi, namun yang tersisa sampai sekarang hanyalah kaki Candi dan sebagian tubuh Candi sisi Timur, utara dan Barat.
• Ukuran Candi hanya 14.36x10.00 m dan tinggi 2.44 m.
• Candi Songgoriti berbentuk bujursangkar dengan penampil-penampil dan hiasan berlanggam Jawa Tengah.
• Bidang-bidang dinding candi pada sisi relung-relung dihiasi ukiran orang berdiri.
• Dasar batur candi pada bagian selatan dan barat telah hilang.
• Pada kaki candi terdapat lobang-lobang dari mana air merembes dialirkan dari ruang candi melalui batur kepancuran (jaladwara).
• Di tengah bilik candi terdapat sebuah sumuran, disitu air panas menyembul kepermukaan.

Latar Belakang Keagamaan
Diketemukannya arca Ganesha dan arca Rsi Agastya, juga ditilik dari beberapa panteon yang terdapat pada lokasi situs Candi Songgoriti maka dapat disimpulkan bahwa situs ini adalah berlatarkan agama Hindu aliran Siwa.


Prasasti Sangguran

Prasasti Sangguran (Batu Minto) asal daerah Ngandat, Malang (Jawa Timur), yang pernah dibawa ke luar negeri oleh Stamford Raffles pada 1814, yang berasal dari abad ke-10. Prasasti Sangguran (Prasasti Minto), dikenal dengan ‘Lord Minto’ atau ‘Minto Stone’ untuk versi Skotlandia (Inggris) merupakan prasasti beraksara dan bahasa Jawa Kuno.

Prasasti itu merupakan reruntuhan candi di desa Ngandat, Malang, dan dinilai sangat penting dari sisi historis, karena menjadi bagian sejarah peralihan dari kerajaan Mataram ke Jawa Timur.
Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya adalah tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka. Jika dikonversi ke dalam tahun Masehi, maka identik dengan 2 Agustus 928. Prasasti tersebut menyebutkan pula nama Rakryan Mapatih I hino pu Sindok Sri Isanawikrama dan istilah sima kajurugusalyan di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pandai (besi, perunggu, tembaga, dan emas). Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.

Dinasti Isyana
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa.
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang.
Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Namun ada juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Isyana, antara lain yang diajukan oleh Prof. Poerbatjaraka, Pusponegoro, dan Notosutanto. Menurut versi ini, dalam Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul Wangsa Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama Buddha.
Dengan kata lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa Syailendra yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa Timur.
Silsilah Keluarga
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.
Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.
Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Daftar Para Raja
Daftar para raja Wangsa Isyana dapat disusun sebagai berikut,
1. Mpu Sindok alias Maharaja Isyana
2. Sri Isyanatunggawijaya, memerintah bersama Sri Lokapala
3. Makutawangsawardhana
4. Dharmawangsa Teguh memerintah di Jawa, Mahendradatta memerintah di Bali.
5. Airlangga, putra Mahendradatta dan menantu Dharmawangsa.

Kerajaan Tumapel singhasari


Kerajaan Singasari berada di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang. Ibu Kota:KutarajaMenurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa

Candi Kidal


Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali tahun 90-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Disekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari. Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya jawa timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Didalam kitab Negarakertagama pupuh 41, bait 1 disebutkan:

”Bhatara san Anusanatha wka de bhatara sumilih wicesa siniwi,
lawasniran amukti rin rat apageh tikan sayawabhumi bhakti matutur,
cakabdi tilakadri cambhu kalahan/ bhatara mulih in
(girindrabhawana,
sireki winanun/ pradipa cimbha chobita rikan sudarmma ri Kidal.”
Artinya :
Bhatara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan selama pemerintahannya, tanah jawa kokoh sentosa, bersembah bakti
Tahun saka perhiasan gunung sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka
Cahayabeliau diwujudkan arca Siwa gemilang di Candi makam Kidal
Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.

Keistimewaan Candi Kidal
Candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon katanya tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu pernah ditempat berlian kecil
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak 2 taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya 2 taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.

Pemugaran
Disekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang.
Dirunut dari usianya, candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke 5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (10 M), Airlangga (11 M) dan Kediri (12 M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan pentirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati,. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.

Relief Garuda
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta. Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu diatas Garuda paling indah sekarang masih tersiumpan di museum Trowulan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggam-barkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk diatas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar