“Mirza…. Ayo makan dulu.”kata Taufan
pada Mirza yang sedang duduk di bangku taman rumah Taufan sambil menikmati
udara segar pagi hari.
“Eh… nanti saja, Fan. Belum merasa
lapar.”jawab Mirza.
“Ayoo makan dahulu. Ini sudah aku
siapkan untukmu, Za. Apa mau aku suapin? Aku ambilkan dahulu ya.”ujar Taufan
dari belakang Mirza sambil berdiri. Kemudian ia berjalan menuju dapur dan
mengambilkan makanan untuk Mirza.
“Ini, Za.... makanlah selagi masih
hangat. Ini ada susu segar juga.”kata Taufan sambil duduk di samping Mirza.
“Terima kasih, Fan.”jawab Mirza.
“Ini aku suapin. Buka mulutnya
donk!”pinta Taufan. Mirza membuka mulutnya dan memakan suapan dari Taufan.
“Fan… Dita itu anak siapa? Mengapa
dia memanggilku ibu?”tanyanya tiba-tiba.
“eh…Dita itu anakmu, Mirza. Anakmu
dengan Septian.”jawab Taufan.
“Anakku? Anakku dengan Septian?”Mirza
kaget.
“Iya.”jelas Taufan.
“Lalu di mana Septian sekarang?”tanya
Mirza kembali.
“Sudahlah…Jangan membahas hal itu
dahulu di pagi-pagi buta seperti ini. Lebih baik makan lagi. Ayoo buka
mulutnya, za… aaaa…”Taufan menyuapi Mirza kembali. Mirza memakan suapan dari
Taufan.
“Wah..selera makanmu semakin hari
semakin bagus ya…. Nafsu makanmu juga bertambah. Syukurlah. Semenjak kamu
keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu, setidaknya sekarang kamu semakin
gendut saja. Aku suka itu. Hehe…”ucap Taufan mencoba menghibur Mirza yang
sedang mengunyah sambil melamun.
“Haha… kamu bisa saja, Fan. Terima
kasih ya atas semua yang telah kau lakukan dan korbankan padaku. Kamu memang
sahabat yang paling baik.”kata Mirza menatap Taufan.
“Fan…”panggil Mirza.
“Iya, Za…Apa?”Jawab Taufan.
“Di mana anakku sekarang?”tanyanya.
“Dita? Dia sedang di rumah orang
tuaku. Biarkan Dita di sana dulu, Za. Mama dan Papaku sudah menganggapnya cucu
sendiri. Jadi kamu tidak perlu khawatir. Selama kamu masih sakit dan dalam masa
perawatan, Dita akan berada di sana untuk sementara waktu saja kok.”jelas
Taufan.
“ohh… apa tidak apa-apa?”tanyanya
kembali.
“Iya… santai saja denganku, sayang…Apa
sih yang ndak buat Mirza tersayang. Hehe…”jawab Taufan masih mencoba menghibur
Mirza.
“Terima kasih ya Fan…”Mirza
tersenyum. Taufan pun menyunggingkan bibirnya lebar sekali. Saat itu Taufan dan
Mirza duduk berdampingan dan menatap sinar matahari yang sedang menampakkan
cahayanya.
***
Hari itu hari Senin. Taufan
berangkat ke tempat kerjanya. Sedangkan Mirza bertahan dalam rumah Taufan
sendirian. Pembantu Taufan tidak sedang di rumah. Ia sedang izin untuk pulang kampong
sejenak karena ada acara keluarga. Setelah Taufan berangkat ke kantor, Mirza
bersiap-siap untuk membersihkan rumah. Ruang tamu, dapur, ruang keluarga,
taman, kamar tidurnya sudah dibersihkan. Sekarang saatnya membersihkan kamar
milik Taufan. Mirza masuk dalam kamar dan mulai untuk membersihkan ruangan itu.
Ia merapikan tempat tidur lalu meja. Ketika membuka laci meja dekat tempat
tidur, Mirza melihat sepucuk surat. Amplop tersebut berwarna putih dan
ditujukan pada Taufan. Pengirimnya adalah Septian. Mirza penasaran. Lalu ia
membuka amplop tersebut. Mirza membacanya.
Untuk sahabatku Taufan,
Fan… Bagaimana keadaanmu sekarang? Baik-baik saja kan? Ehmm.. langsung
ke point nya saja ya…
Fan, kita bertiga kan sahabatan sejak SD. Aku, kamu, dan Mirza. Namun
ditengah jalan, ketika kita menginjak bangku SMA, aku mulai menyukai Mirza.
Lalu aku menembak Mirza. Dia menerimanya. Hingga akhirnya kita akan
melangsungkan pertunangan.
Namun.. Mirza tidak menyukaiku. Ia tidak menginginkanku menjadi
tunangannya. Aku marah sekali dengan apa yang ia katakana. Lalu tiba-tiba Mirza
mengalami kecelakaan. Dia lupa denganku. Dia hilang ingatan. Aku meninggalkannya.
Pikirku, inilah kesempatanku untuk memberikan keleluasaan baginya untuk
mencintai dan memiliki orang yang ia sayangi dan cintai.
Fan, aku tak tahu bahwa Mirza ternyata mengandung anak dariku. Sedang
aku sudah menikah dengan perempuan lain. Tidak mungkin bila anak Mirza aku
ambil dan aku rawat dengan istriku sekarang. Istriku pasti tidak menerimanya.
Fan,, tolong jaga Mirza dan anakku ya… Kamulah satu-satunya sahabat yang
mampu aku andalkan dalam hal ini. Karena aku tahu bahwa kamu juga sangat
mencintai dan menyayangi Mirza sejak dahulu.
Fan, maafkan aku…. Sekali lagi aku minta maaf. Salam untuk Mirza dan
anakku.
Terima kasih…
Dari Septian, sahabatku sejak kecil
Mirza gemetar memegang kertas itu.
Ada rasa amarah di hatinya. Matanya memerah. Tiba-tiba kepalanya pusing. Sakit.
Mirza teriak dan tiba-tiba semua gelap.
–end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar