Senja pagi hari menyambutku dengan udara yang masih lembab oleh embun pagi. Langit kala itu cerah. Hilir mudik becak hingga .kendaraan bermotor selalu menghiasi suasana pagi, siang, dan sore hari di depan kos ku.
"ahh... di mana kita bisa mencari udara segar jika pagi buta seperti ini sudah banyak kendaraan yang hilir mudik. polusi udara sudah menyebar ke seluruh penjuru tanah air... Jadi malas buat jalan-jalan. hashh..." keluhku sembari membuka gerbang kos depan.
" halah... kamu tu sukanya komentar doank. Kamu kan juga jadi penyumbang polusi udara. Gak perlu kayak gitu lah, Nay.." sahut Helena yang berjalan di sampingku.
" Ihh... apaan... yang penting kan gak sepagi ini aku nyumbangin polusinya.. huuu... au ahh gelap, Na. Jadi jogging ndak nih?" tanyaku.
"Gak jadi aja, Nay. Ke pasar aja yuh... wis kencot kie. Ya.. yuh..." jawabnya dengan logat ngapak yang masih kental sekali. Helena adalah gadis polos yang berasal dari Banjarnegara, salah satu kota yang menggunakan bahasa khas yang unik yaitu ngapak.
"Hahaha... kamu tuh.. oke deh... cap cuss cint..." ajakku dengan penuh semangat.
Aku dan Helena akhirnya melangkahkan kaki menuju tempat yang penuh dengan sayuran, telur, ayam potong dan segala tetek bengeknya. Kami melihat banyak sekali pedagang yang sedang menawarkan barang dagangannya ke pembeli. Tak seperti biasanya. Pagi ini pasar begitu ramai.
Peci...Sarung... pak.. bu.. ayo dibeli.. diskon untuk hari minggu, silahkan dibeli pak.. bu.. untuk lebaran... murah meriah.. mari mari... terdengar salah satu penjual pakaian sedang semangat menawarkan barang dagangannya yang sedang diskon.
"haha.. Na, lebaran kan masih lama.. kok udah pada ribut promosi'in dagangan lebaran sih... hahaha... ada-ada saja tuh pedagang.." protesku.
"yah.. suka-suka mereka lah, Nay.. mau jual 2 bulan sebelum lebaran kek, pas lebaran kek... kaya kue lih mbok men ra rebutan karo pedagang liyane mbok.." jawab Helena dengan cepat.
"hemmm... apapun lah ya... yang jelas aku belum mau beli baju lebaran. Lebaran kan gak perlu beli baju baru. haha.. eh.. ngomong-ngomong tadi bapak-bapak itu nawarin peci ya? ke sana sebentar yukk... lihat-lihat dulu...hehe,.." ajakku kepada Helena dengan wajah manja dan membujuk dengan gaya anak kecil yang pengen dibelikan permen karet.
"haa??? peci? buat siapa, Nay? buat bapakmu?" tanya Helena penasaran dengan sedikit nyindir.
"hee.. ayolah... ke sana aja dulu... lihat-lihat,.. hehee..." bujukku.
Kami menghampiri pedagang peci tadi. Aku melihat-lihat peci yang bagus dan sekedar mengukur lebar lubang kepala peci tersebut muat atau tidak untuk Mas Rado.
"Na, kalau peci yang putih ini pas nggak ya buat Mas Rado?" tanyaku ke Helena sambil memegang peci putih bermotif arab dengan gaya sok akan membeli.
"ha? buat Rado? Apa kamu gak salah, Nay? Buat apa beli'in peci untuk dia? Inget Nay, dia udah punya cewek... Gak usah ngrebut dia dari ceweknya lah... kaya gak ada cowok lain aja.. kan masih ada Dimas, Adhy, atau keponakannya pak kos tuh.. siapa sih namanya, ohh.. iya Danu... haha... So... cobalah buat jauhin dia. Kasihan Sasa juga kan.. dia teman kita juga. Kamu tega banget nyakitin Sasa." ceramah Helena.
"ahhh... biarinlah Na, ini kan soal perasaanku. Toh kalau jodoh gak akan ke mana kok... Aku ikhlas kok membelikan peci ini. Aku tak ada maksud untuk merebut Mas Rado dari Sasa. Aku ikhlas... dengan ridho Allah. Percayalah sama aku, Na.... oke..!! hehe..." jelasku.
"Lhah.. kamu tuh dibilangin tetep ngeyel aja. Terserahlah..." ucap Helena dengan wajah pasrah.
Aku terdiam. Helena juga terdiam. Aku memandang wajah Helena selama tiga puluh detik dan kembali memalingkan pandangan ke peci yang sedang kupegang. Lama aku berfikir.
"ehmm... Na... mungkin beli pecinya jangan sekarang aja yaa... ditunda dulu aja deh.. hehe... Sekarang kita beli sayur dulu yuk..!!" aku mencoba menenangkan hati Helena. Helena menanggapi ajakanku dengan anggukan kepala saja. Lalu kami meninggalkan penjual peci tersebut dan melangkah ke penjual sayur hijau. Kami membeli tempe, sayur bayam, sayur kangkung, cabe, dan beberapa bahan dapur untuk persediaan kami selama seminggu. Setelah hari menjelang siang, kami baru pulang.
Di teras kos duduk seorang laki-laki memakai celana pendek olahraga dan kaos tipis berwarna biru muda sedang asyik membaca buku kecil berjudul doa-doa untuk sehat.
"Mas Rado???" aku kaget sekali melihat Mas Rado duduk di teras kosku. "Sejak kapan mas Rado di sini?"tanyaku kepadanya.
"Sejak setengah jam yang lalu, Nay." jawabnya.
"Lhoh... maaf mas... Naya habis dari pasar dan Naya belum mandi, hehe.... memangnya mau ke mana mas?" tanyaku penasaran.
"Mas mau ngajak Naya untuk ngambil kiriman uang dari pakdhe. Mau kan? Tapi jalan kaki, gimana, Nay?" tawarnya.
"eh?? ehm.. yadah... ndak papa kok mas... Naya siap-siap dulu ya.. hehe,,, tunggu Naya mas..." Aku langsung bergegas mandi. Karena terlalu semangat, aku hampir lupa dengan Helena yang sedang berdiri terpatung melihat tingkahku yang rempong sekali.
"eh... Helena... Aku mandi dulu ya... hehe... itu tolong sayurnya ditaruh kulkas. Hitung-hitungannya nanti aja kalau aku udah pulang. Dada Helena sayangg.. mumumu.." Aku berlari ke kamar mandi. Mandi seperti bebek dikejar anjing saja. oops... emang bisa po anjing ngejar bebek? haha.. dung dung....
"Aku siap!!" teriakku di hadapan Mas Rado.
"Oke.. kita berangkat." ajaknya.
Kami berjalan menyusuri kota Yogyakarta di bawah panasnya terik matahari. Langkahnya yang cepat tak mampu kuimbangi dengan langkah kakiku yang terlalu kecil. Aku berusaha mengimbangi langkah kakinya dengan berlari-lari kecil dan tak ingin dia tahu bahwa aku melakukan hal itu. Dalam perjalanan, dia menceritakan hal-hal yang menjadi pikirannya selama ini. Mulai dari penyakitnya, kondisinya, hingga apapun yang ada di masa lalunya. Aku mendengarkan celoteh indahnya dengan seksama dan penuh perhatian.
"Mas sangat menyesal dengan tingkah laku mas di masa lalu. Mas sangat tidak memperhatikan kesehatan mas sendiri. Mas sering merokok, sering begadang, sering mandi malam, dan sekarang mas merasakan apa dampak dari kecerobohan mas itu. Mas baru sadar, Nay." curhatnya.
"Mas sekarang ini benar-benar menghilangkan sifat-sifat dan kebiasaan mas yang buruk itu. Mas tak ingin membuat orang di sekitar mas menjadi susah karena ulah mas. Mas ingin pulang kampung sebentar untuk meminta maaf kepada orang-orang yang pernah mas sakiti." tambahnya.
"Iya mas... Naya ngerti apa yang sekarang mas Rado rasakan. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk mas Rado. Naya akan selalu berdoa untuk Mas Rado. Semoga Allah juga menghilangkan penyakit yang ada di tubuh mas Rado. Selalu berdoa, mas.. dan Berusaha... lalu berserah dirilah kepada Allah."nasihatku sedikit seperti orang dewasa yang penuh pengertian. hehe...
"Iya.. Naya... makasih ya Naya, selama ini Naya sudah menemani mas di saat mas membutuhkan bantuan dan di saat mas senang. Terima kasih Naya... Entah dengan apa mas bisa membalas kebaikan Naya selama ini..." ucap Mas Rado.
"Dalam persahabatan, tak ada kata terima kasih dan pembalasan, mas... Naya ikhlas... biarkan Allah yang membalas kebaikan Naya. Setiap manusia itu harus saling tolong menolong. Itu yang diajarkan orang tua Naya. Naya senang bisa berkenalan dengan Mas Rado. Naya sangat berterima kasih kepada Allah karena telah memberikan takdir sehingga kita dipertemukan, Mas... Naya sangat senang sekali..." jelasku dengan sabar dan senyuman termanis. hehe..
Kami terus melangkahkan kaki menuju bank terdekat. Setelah tiba, Mas Rado mengambil uang kiriman dan kemudian aku mengajaknya untuk melihat-lihat beberapa handphone second sebagai bahan referensi Mas Rado jika akan membeli HP baru. Kami masih melangkah berdua. Dalam langkah kaki kami, ada canda tawa riang yang selalu menyertai kami. Langkah kaki ini seperti langkah kaki dua sahabat yang sedang berusaha untuk saling melengkapi di setiap perjalanan hidup.
Langkah kaki kami telah menyisakan jejak. Jejak yang bahkan orang lain tak akan tahu seperti apa dan bagaimana kami menjalani hidup ketika bersama. Di kala Mas Rado susah, aku berusaha untuk membantunya semampuku. Di kala aku butuh seseorang untuk mengerti aku, Mas Rado siap menjadi orang yang pertama kali perhatian dan mengerti bagaimana keadaanku. Kami saling melengkapi. Persahabatan kami memang aneh. Sebenarnya dalam hatiku, aku sangat menyayangi Mas Rado melebihi rasa sayang sebagai sahabat. Namun... untuk saat ini yang jelas adalah Aku dan Mas Rado masih bersahabat. Sahabat itu adalah pelengkap dalam hidup. Pelengkap kekosongan hidup. Sahabat adalah kehidupan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar