"Isqh shava......mushq shava..... khushamdeed e Marhaba...."
Sembari mengeringkan rambutku yang basah habis keramas malam, aku duduk menghadap layar 14 inci dengan background laptopnya berwarna putih tulang bermotif bangun datar segitiga. Steak modem tertancap di sisi kiri keyboard laptop tersebut. Aku bersenandung lagu india yang sedang aku putar melalui mp3 laptopku. Lagu yang aku dengarkan adalah salah satu soundtrack filmnya Shah Rukh Khan dengan judul film Jab Tak Hai Jaan dan lagunya adalah Isqh Shava. Dengan duduk bersila, kepala manggut-manggut dan tarian tangan mengetik sesuatu di laptop, aku berdendang menikmati irama lagu bollywood kesukaanku ini.
krucuk...krucuk...krucuk....
"uhh... laper... beli roti dulu aja ya enaknya... udah jadi belum sih roti kesukaanku? Yadah.. capcus ke Toko Amerta." celotehku karena kelaparan sambil mengambil selembar uang lima ribu rupiah dan mengikat rambut. Memang seperti inilah keadaanku kalau sedang libur. Lupa makan, lupa minum, bahkan lupa mandi juga sering. hehe... Seharian ini aku hanya makan nasi sepiring, itu pun lauknya tempe. Maklumlah, anak kos, jauh dari orang tua, makanannya ya seadanya saja, tak jauh dengan makanan yang terbuat dari kedelai yang didiamkan hingga muncul jamurnya, tempe.
Aku pergi ke toko Amerta untuk membeli roti semir. Namanya sih itu, hemm.. padahal rotinya ya biasa saja, tidak diberi semir sepatu, semir rambut, dan sebagainya. Dan roti inilah makanan favoritku. Harganya murah dan isinya juga banyak. sebungkus ada lima biji roti. Bentuknya seperti burger tapi isinya berbeda. Kalau burger kan isinya daging dan sayur, nah kalau roti semir ini isinya ya coklat gula. Hemm.. enak pokoknya.. yummy...
Roti semir sudah ditangan. Aku kembali ke singgasanaku, yak.. depan laptop. Sembari masih menikmati lagu bollywood, aku makan satu potong roti... satu potong lagi... satu lagi... dan... tet toott. habis.. waahh... Ini anak tu laper apa emang kelaperan... ckckckck... menertawakan diri sendiri.. hahahaha...
suit suit suit...
Terdengar suara siulan. Aku melihat pintu kamarku yang terbuka dan mendapati sebuah kepala perempuan berambut panjang menengok kamarku. Aku kaget.
"Astaga.. Ira... ahh,... kamu itu ngagetin aku aja sih... ngapain coba tengok-tengok kayak gitu.. nakut-nakutin aja kamu nih.. hadeeehh.."marahku ke Ira.
"Hehe.. ya maap, Nay.. hehe.. kamu lagi ngapain?" tanya Ira sembari bercermin sebentar dan kemudian duduk di sampingku.
" Biasalah Ra.. sedang bergulat dengan yang namanya tulis menulis. Inilah makananku sehari-hari.... Kamu sih dari mana, kok isya' baru mandi, mandi keramas lagi... wah wah.." tanyaku menggoda.
"Ahh.. kamu tuh kaya ndak tau aku saja, Nay. haha... biasalah... kami dari kampus pusat.. tadi naik bis trans jogja. Wah.. tumben skali aku pusing, gak kuat. Biasanya ndak seperti ini." jelasnya.
"hah? ngapain ke kampus pusat? sama temen-temen sekelas kah?"tanyaku penasaran.
"Iya... tadi ada urusan sama petinggi kampus. Hahaha...wah.. capek sekali kami ini..." keluhnya kemudian.
"Wahh.. asyik tuh kayaknya... kok gak ajak-ajak aku sih, Ra.. haha.. tadi mas Rado juga udah cerita sama aku. Makan-makan nih.. hahaha..."godaku.
"Ahhh... gampang itu, Nay... haha.. oh iya, besok kami mau ketemu sama abangku. Tolong kasih tau sama pak kos yaa.. yah buat jaga-jaga kalau pak kos besok nyari'in kami. haha" kata Ira.
" ohh.. kamu punya abang di sini ternyata.. wah... asyik ya.... aku juga punya kakak di sini, tapi jarang sekali ketemu. Dia sibuk sekali. Padahal adiknya kangen sekali sama dia... hahh.. sabar saja." keluhku sedikit curhat.
"wah.. kamu juga punya abang di sini yaa...? sabar yaa... ehmm.. Nay, kami kangen sama orang tua. Bapakku sekarang sudah tidak bisa apa-apa lagi. Hanya bisa berbaring di rumah. Aku sangat rindu sekali, Nay." sambungnya curhat ke aku. dan bla.. bla.. bla... dia menceritakan bagaimana keadaan keluarganya di kampung. Dia adalah anak ke dua dari lima saudara. Dia bisa kuliah di Jogja karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah tempat tinggalnya. Begitu juga dengan Lina, satu kos denganku, dan Mas Rado. Mereka berasal dari kampung yang sama yaitu dari Sumatra Barat, tepatnya di Mentawai. Namun tempat tinggal mereka lumayan jauh. Terpisah oleh selat, gunung, dan sungai. Begitulah mereka.
Aku mendengarkan curhat dan cerita dari Ira. Aku menyimak dan mendengarkannya dengan baik dan penuh perhatian. Kami tertawa bersama. Dia menceritakan masa-masa di SMP nya. Dia sudah terbiasa jauh dari orang tua sejak usia SMP. Dan hingga saat ini dia belum bertemu dengan orang tuanya selama satu tahun lebih. Sungguh... tak bisa aku bayangkan bagaimana rindunya orang tua dan dia pribadi. Apalagi dia adalah seorang perempuan. Jika aku mengalami apa yang dialami Ira, pasti aku tak akan sanggup untuk menahan rasa rinduku pada keluarga. Tidak bertemu seminggu saja sebenarnya sudah tidak sanggup, apalagi setahun lebih. Salut untuk Ira dan teman-teman perantau.
"Ayo makan, Ra.." tiba-tiba Lina masuk ke kamarku.
"Oh.. iya... Lin, bentar yoo... ehh, Nay.. kami makan dulu yaa.. makasih ya sudah mau mendengarkan ceritaku." tutup Ira dan kemudian pergi.
"Kami makan ya, Nay.. thhaaaa... kamu juga jangan lupa makan." sahut Lina juga.
"Iyaa.. siipp.. selamat makan kawaaann... haha" aku menutup percakapan. Aku kembali menyibukkan diri dengan tulisanku. Aku menulis sebuah cerita sembari membuka akun facebook dan twitter. Tiba-tiba mas Rado update status. Isi statusnya adalah dia sedang merasakan sakit. Sontak aku kaget... Tuhan... apa mas Rado sakit lagi...? Lalu aku melihat-lihat akun facebooknya dan membaca beberapa status Mas Rado yang kemarin.
Di statusnya seperti dia sedang merasakan patah hati. Dia seperti pasrah dengan keadaanya. Aku penasaran dengan statusnya. Lalu aku berkomentar sekedar memberikan semangat dan nasihat untuknya. Yah.. beginilah tugas sahabat. Saling memberikan nasihat, kritik, dan saran jika diantara kita melakukan kesalahan. Kami saling melengkapi. Bahkan mungkin orang lain menganggap bahwa kami memiliki hubungan yang spesial. Padahal Mas Rado sudah memiliki pacar, yaitu Sasa. Yah... biarlah. Hanya aku, Mas Rado dan Allah lah yang tahu bagaimana hubungan kami. Aku serahkan semuanya kepada Allah. Aku dan mas Rado yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk kami.
"Nay...Mas Rado ada di depan. Katanya dia mau bertemu sebentar. Cepat..." Lina membuyarkan konsentrasiku pada dunia maya.
"ha? ngapain malam-malam gini dia datang.. kan gerbang sudah digembog.. haduh.. yasudah... bentar ya..." aku bergegas untuk memakai jilbab, celana panjang. Lalu aku berlari tergesa-gesa ke depan.. dan.. oops.. lupa.. aku belum memakai lengan panjang. Langsung saja aku kembali ke kamar dan mengenakan jaket apa saja yang sedang menggantung di balik pintu. Aku berlari ke depan membukakan pintu untuk mas Rado.
"Lama sekali Nay.." kata Mas Rado masih di luar gerbang.
"Lhoh.. kan Mas Rado ndak sms Nay dulu kalau mau ke sini. hemmm..." jawabku sedikit dengan nada marah sambil membuka gembog gerbang.
"Naya marah??" tanyanya.
"Ndak kok... Naya ndak marah, mas... Ayo masuk."
Mas Rado dan Pras, salah satu teman kuliahnya, masuk ke dalam kos dan duduk di teras. Lalu aku memanggil Lina dan Ira untuk menemani mas Rado dan Pras sebentar karena aku akan mengambilkan sepedanya Helena untuk dipinjam mas Rado.
"Nay, uang mas tinggal segini. Tolong disimpan dan dijadikan satu sama yang kemarin ya Nay... biarkan mas membawa uang 60.000 ini untuk makan mas sehari-hari. Biar saja mas makan sehari sekali. ya.. hehe.. coba ambil dulu dompetnya Naya." pinta Mas Rado.
"Oh.. bentar mas..." aku mengambil dompet di dalam kamar.
"Ini mas... coba dihitung lagi. lalu dijadikan satu sama yang barusan." jelasku.
"Iya...ini Nay.. mas titip ya.. mas percaya sama Naya... hehe.."
"Iya mas... insyaAllah.. oh iya mas.. Mas Rado harus tetap makan setiap hari sebanyak tiga kali.. ya... Harus!! Awas kalau tidak, Naya bakal marah sama Mas Rado." ancamku padanya.
"Biarlah, Nay. ehmm.. oh iya.. mas cocok pakai baju koko ini ndak?" tanyanya sembari menunjukkan baju yang sedang dipakainya.
"Ehmm.. cocok mas.. hehe.. lha pecinya mana?" tanyaku mengingatkan.
"Nah.. itulah Nay, tadi mas nyari tu tidak ada. Malahan tadi mas menemukan baju yang cocok sekali untuk ibu.. tapi yaa... harganya itu yang mahal, Nay.. mas ndak bisa menawarnya. Mas pengen membelikan itu untuk ibu. Mas pengen nangis sebenarnya, Nay... Tapi mau bagaimana lagi." jelasnya.
"Nah.. Do, tadi kan sudah saya beri tahu. Kalau untuk ibu tidak usah ditawar. Berikan yang terbaik untuk ibu. Tidak sekarang tidak apa-apa. Sabar saja..." kata Pras menenangkan Mas Rado. Ira dan Lina manggut-manggut menyimak apa yang kami bicarakan. Aku tersenyum mendengar yang dikatakan Pras. Lalu aku melihat mata Mas Rado. Tiba-tiba matanya juga melihatku. Kami saling berpandangan. Hanya beberapa detik. Dalam pandangan matanya, dia seperti membutuhkan bantuanku. Rasanya dia ingin aku ada di sampingnya setiap detik. Itu sih menurutku. Aku juga tak tahu apa yang dirasakan mas Rado sebenarnya. Yang jelas aku merasakan bahwa mas Rado sangat membutuhkan diriku ada dalam kehidupannya.
Kami berbincang-bincang mengenai harga tiket pesawat. Mereka rencana akan pulang kampung ke Mentawai akhir Juni ini. Tetapi menunggu harga tiket yang pas dan murah. Hanya beberapa menit kemudian Mas Rado dan Pras pamit pulang.
"Kami pulang dulu ya.. ini mas mau diajak nongkrong di sana sama Pras. Pinjam dulu sepedanya Helena ya.. bilang terima kasih dari mas untuk Helena. Asalamu'alaikum." pamitnya sembari berjalan keluar gerbang.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya mas..." aku mengecup tangannya lalu mengunci gerbang kembali.
Aku masuk ke kos terlebih dahulu. Lina dan Ira masih duduk di teras. Aku kembali menulis. Lalu aku teringat sesuatu.
Mas... hati-hati sama angin malam ya.. paru-parunya dijaga... sedia jaket juga.. :)
Aku mengirimkan sms ke Mas Rado. Aku khawatir dengannya. Khawatir dengan keadaannya. Aku khawatir dengan kesehatannya. Ingin sekali selalu berada di sampingnya. kapanpun dan di mana pun. Ingin ikut pergi ke kampungnya. Aku ingin selalu bisa menjadi pelengkapnya. Pelengkap dalam hidupnya. Aku sayang Mas Rado. Sayang melebihi sahabat.
Ya.. Nay.. balasnya via sms.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar