Sabtu, 08 Juni 2013

Bapak, Dila Ingin Bertemu...

"Bis 3B sudah datang... silahkan untuk yang keluar terlebih dahulu.... Mari 3B untuk yang masuk, silahkan!!" ucap petugas shelter Trans Jogja.

Aku, Mas Rado, dan Bang Aman masuk ke dalam bus. Aku duduk di samping mas Rado. Di sebelahnya lagi ada Bang Aman. Kami duduk menghadap jendela sisi kiri bus. Lalu bus mulai jalan.

"Lhoh mbak.. ketemu lagi..."kata seorang ibu berambut pendek, memakai jaket hitam dan memangku tas berwarna coklat. Di sampingnya duduk seorang gadis kecil usia sekolah dasar sedang merangkul tas ransel.

"ehh.. oh nggeh bu... lha ibu saking pundi?" tanyaku sok kenal. Padahal sebelumnya hanya melihat wajah beliau sekilas.

"dari mana-mana, mbak... dari tadi diputer-puterin saja sama bis trans jogja.

"Lhoh.. memangnya mau ke mana, bu?"tanyaku penasaran.

"Mau pulang, mbak. Ke Madiun." jawabnya.

"Ohh... lhoh, saya dari Ponorogo lho, bu.. Madiunnya mana bu?"kataku tambah sok kenal.

"Lhoh.. dari Ponorogo, mbak? wah.. tetanggaan ya kita. Sini mbak... duduk dekat ibu. Rasanya seperti bertemu dengan saudara sekampung halaman saja."pintanya.

"Ehh.. oh iya bu,,, sebentar. Mas Rado, Naya duduk sebelah ibu itu ya..."kataku kepada Ibu itu dan ke Mas Rado. Mas Rado hanya mengangguk. Lalu aku pindah duduk di sebelah ibu tadi. Kami pun akhirnya berbincang-bincang panjang lebar. Tiba-tiba ibu tadi curhat.

"Begini mbak,, saya dan putri saya ini ke Jogja untuk mencari suami saya yang pergi dari rumah. sudah 15 bulan dia tidak kembali ke rumah. Anak saya meminta saya untuk mencari bapaknya. Dia malu dan iri jika melihat teman-temannya selalu dijemput bapak mereka."curhat beliau.

"ehhmm....Lalu bu, apakah sudah bertemu dengan suami ibu?"tanyaku penasaran.

"Belum, mbak... belum ketemu. Belum nemu alamatnya di mana. Sebenarnya sudah diberi tahu kalau alamatnya di situ. Di beri tahu sama temannya. Tetapi dari kemarin saya keliling-keliling ya nyasar terus, mbak. Lalu saya bilang sama anak saya kalau bapak gak ketemu. Dan anak saya pasrah. Dia sudah menyerah. 'Biarlah bapak pergi, saya tidak akan mencari bapak lagi.' Begitu katanya, mbak. Yah.. sebagai ibu, saya sangat sedih, mbak... melihat anak saya seperti tak memiliki bapak. Dan mbak, anak saya selalu menutupi wajahnya jika melihat ada bapak dan anak sedang berjalan atau bermain bersama. Anak saya sangat merindukan bapaknya." cerita ibu tersebut sambil meneteskan air mata. Aku mengeluarkan tisyu dan memberikannya kepada mereka.

"Saya sebagai istri juga mangkel sama suami saya itu. Mbok ya ngomong baik-baik kalau ingin beristri lagi. Tidak harus seperti ini caranya. Pergi dengan janda beranak tiga. Sertifikat mobil, rumah, tanah, dan harta yang di rumah semuanya dibawa pergi oleh dia. Saya pasrah saja mbak. Tapi saya sangat tidak suka sekali dengan caranya itu. Saya sudah tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sebenarnya siang tadi saya ingin terjun dari jembatan. Namun tiba-tiba anak saya itu kelaparan minta makan. Saya mengurungkan niat saya itu. Uang kami tinggal sedikit dan terpaksa tadi aku mengambil jambu di pinggir jalan dan memberikannya ke anak saya untuk dimakan. Saya tak tega. ya Allah... ujian apa ini...paringono kesabaran ya Gusti..." katanya.

Aku mengelus lengan tangan beliau dan berkata, "Sabar, bu... Nanti juga dapat balasannya."

"Iya mbak... Kami menikah sudah bertahun-tahun dan baru mendapatkan putri satu-satunya ini. Anak saya sudah kelas 3 SD. Minggu depan ini dia ulangan. Dia sudah tidak masuk sekolah selama dua bulan, mbak. Karena memikirkan dan merindukan bapaknya itu. Saya kasihan sekali dengannya. Mbak kuliah? Di mana mbak? UGM?" tanya beliau.

"Bukan, bu. Saya kuliah di Universitas Negeri." jawabku masih terpana dengan curhatan beliau.

"Oh... jurusan apa mbak? Saya dulu juga pernah kuliah di Jogja. Sekitar tahun 80-an. Namun hanya bertahan setengah tahun. Saya tidak betah. Dan sekarang Jogja benar-benar beda sekali dengan yang dulu. Belum ada bus seperti ini." tanya beliau sambil mengenang masa lalunya.

"Pendidikan Guru Sekolah Dasar, bu. Oh iya, adek siapa namanya?"jawabku kepada ibu dan mengulurkan tanganku untuk berkenalan dengan anak beliau.

"Dila, mbak..." jawab gadis manis itu.

"Dila kelas 3 ya? Minggu depan ujian? Belajar yang rajin ya... Tunjukkan pada Ibu bahwa Dila bisa membanggakan ibu... Dila bisa membuat Ibu senang. Meskipun bapak jauh, Dila harus tetap sekolah, yaa.. biar pintar... Semangat Dila... Toss dulu!" ucapku kepada Dila sedikit memotivasinya. 

"Iya mbak..."jawabnya sambil tos lima jari denganku. Tadi aku sempat melihat Dila meneteskan air mata ketika ibunya sedang bercerita. Aku ingin menangis juga. Tapi tak mungkin lah yaa.. kalau ibu menangis, adiknya menangis, dan aku juga menangis, nanti jadi cry girl band donk (wew... krik krik krik)...haasshh.. kembali ke cerita. Pasti dalam hati gadis kecil itu berkata, Bapak..Dila ingin bertemu bapak...bapak di mana? Dila kangen...

"Oh iya mbak, mbak tadi sama siapa? dua orang itu? Yang baju putih itu pacarnya mbak ya?"tanya ibu tadi sembari menunjuk Mas Rado yang sedang duduk mendengarkan musik di HP nya. Aku hanya tersenyum.

"Mas Rado, ini kenalan sama ibu." aku meminta Mas Rado berkenalan. Aku tersenyum. Mas Rado tersenyum juga. Lalu dia kembali mendengarkan musik.

"Mbak, saya beri tahu, Jangan terlalu percaya seratus persen kepada lelaki. Laki-laki itu sulit dipercaya. Saya ini buktinya. Saya salah karena terlalu percaya suami saya seratus persen. Toh sekaran buktinya dia pergi meninggalkan kami berdua. Padahal kami sudah menjalin pernikahan selama 18 tahun. Sekarang dia selingkuh, menikah lagi dengan perempuan itu. Sakit sekali mbak rasanya. Saya itu sangat kasihan sama anak saya ini. Jika bukan karena permintaan Dila untuk bertemu bapaknya, saya tidak bakal mencari suami saya, mbak. Sabar..sabar..."kata ibu itu. Aku mengangguk dan tersenyum kepada Ibu tadi. Lalu aku memandang Mas Rado sebentar. Teringat yang kami lakukan. Tentang perasaanku dan Mas Rado.

"Terminal Giwangan... silahkan bagi yang ingin turun terminal... jalur kanan... silahkan..."tiba-tiba petugas bus memberitahukan kepada penumpang.

Dila dan Ibunya pamit untuk keluar terlebih dahulu. Lalu aku memberikan sesuatu kepada Dila.

"Dek, ini untuk kalian pulang ya. Hati-hati di jalan. Belajar yang rajin."kataku kepada Dila.

"Terima kasih banyak ya mbak..."Dila mencium tanganku dan tangannya Mas Rado. Dila keluar dari bus. Aku melihat kepergian mereka. Mereka tersenyum. Aku berpindah duduk di samping Mas Rado. Aku bercerita tentang Dila dan ibunya ke Mas Rado. Bang Aman lalu memanggilku untuk melihat kepergian mereka berdua. Aku nengok ke belakang. Mereka melambaikan tangan. Aku tersenyum kembali. Terima kasih ibu, telah memberikan nasihat terhadapku. Sekarang aku bisa melangkah lebih mantap. Aku akan lebih tegas. Mulai saat ini. batinku.

Mas Rado, Naya pernah bertanya kepada Mas Rado tentang siapa sebenarnya Naya di hadapan Mas Rado. Lalu Mas Rado menjawab, 'Naya pacar Mas'. Sejak saat itulah Naya berani untuk mempertahankan hubungan kita. Meskipun secara gamblang, kita sedang menjalin hubungan tanpa status. Jadian pun tak pernah. Namun banyak teman-teman yang mengira bahwa Naya dan Mas Rado pacaran padahal mereka juga tahu bahwa Mas Rado masih menjalin hubungan dengan Sasa. kataku dalam hati sembari memandang Mas Rado.

"nanananana.....nana.. nanana...."gumam Mas Rado yang sedang mendengarkan musik. Lalu aku menyodorkan genggaman tanganku berpura-pura menjadi microphone untuk Mas Rado yang sedang bernyanyi. Mas Rado menanggapi candaanku. Kami pun bercanda tawa selama perjalanan. Belagak seperti artis dan manajernya yang sedang latihan nyanyi.

Tibalah waktunya kami turun dari bus. Dari shelter tempat turun penumpanga, kami jalan hingga ke tempat tinggal kami. Aku berjalan bersampingan dengan Mas Rado. Bang Aman masih setia menemani kami berjalan di belakang. Di perjalanan, aku dan Mas Rado masih saja bercanda tawa. Mas Rado memasangkan kacamatanya di rambut seperti memakai bando. Dan ketika berjalan, tiba-tiba kepala Mas Rado menam\brak plang nama toko. Kacamatanya jatuh. Aku dan bang Aman tertawa melihat Mas Rado. Mas Rado pun tertawa. "hahahaha.. tak tahu apa, lagi senang seperti ini kok tiba-tiba nyangkut sama plang nama toko.. ahh.. tak tahu waktu ah... hahahahaha... "kata Mas Rado. Aku tertawa terbahak-bahak. Lalu kami melanjutkan perjalanan.

"ehh.. Nay, Sasa sekarang di perempatan lampu merah. Jika kita berjalan seperti ini apa terlihat hingga lampu merah itu?" tanya Mas Rado.

"ehmm.. iya. Kalau mau ketemuan, ya kalian jalan saja dulu. Aku belakangan." kataku sedikit kecewa. Mas Rado diam. Kami masih melanjutkan berjalan bersama. Lalu aku memelankan langkahku hingga ada jarak di antara kami. Aku berpura-pura membeli kue terang bulan dan menyuruh Mas Rado dan Bang Aman untuk berjalan terlebih dahulu. Beberapa menit. ya.. sudah tak terlihat. Aku melanjutkan perjalanan pulang. Sendiri.

Sakit itu ketika menjadi orang ketiga. Naya tak ingin menjadi orang ketiga. Dan Naya juga tak ingin mengalami nasib sama dengan ibu-ibu tadi. Sungguh miris. Jika Naya di posisi ibu tadi ataupun Sasa, Naya bahkan tak akan sanggup untuk bertahan, menahan sakit. Sahabat lebih baik, Mas. Smsku kepada Mas Rado.

Jangan, Naya. Jangan sakit. Mas selalu ada kok untuk Naya. balasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar