Kamis, 06 Juni 2013

Ikhlaskanlah, kawan...

"Nay, bapaknya Ira meninggal?"tanya Aman.

"hah? Siapa? Lhoh... aku gak tahu, Man... dari tadi aku di sini.. ngelesin dek Nia. Emangnya benar?" tanyaku kaget dan penasaran.

"Iya.. kata temen tadi, Nay. Itu baru dikasih tahu jam 5 sore tadi." jelasnya.

"Innalillahi wa ina ilaihi roji'un... Yasudah, habis aku ngelesin Nia, kita bareng-bareng ke kosku ya.." Aku panik. Aku meminta Nia segera menyelesaikan tugas yang aku berikan. Sembari menunggu Nia, aku melipat pakaian Mas Rado.

"Assalamu'alaikum... Nay, apa benar yang dikatakan Aman tadi?" tanya Mas Rado tiba-tiba.

"Wa'alaikum salam... Naya tidak tahu, mas.. Setelah ini kita ke tempat Naya." jelasku masih panik. Mas Rado menganggukkan kepala.

Nia sudah menyelesaikan tugasnya. Kami mengakhiri belajar sore hari ini. Nia berdoa. Aku pamit kepada Nia dan ibunya untuk pulang lebih awal. Lalu aku dan Mas Rado berangkat ke tempat Ira, tepatnya di kos ku.

Teras kos sudah penuh dengan sepeda dan motor yang terparkir berantakan. Sandal berjejer tak beraturan. Pintu terbuka. Aku dan Mas Rado masuk. Di ruang TV sudah penuh dengan teman-teman sekelas Ira. Laki-laki dan perempuan. Mereka berkumpul sambil menikmati suguhan Fanta merah dan roti. Mas Rado duduk. Aku pergi ke kamar untuk meletakkan tas. Dilanjut dengan pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Ira dan abangnya.

"Sabar ya kawan.. semuanya itu sudah diatur oleh Tuhan. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa mendoakan beliau semoga damai di sisiNya."ucap Praba sambil  menikmati suapan roti dari Wawan, laki-laki yang paling tua di antara mereka sekaligus ketua dari perkumpulan mahasiswa asal Mentawai.

"Mati itu sudah ada yang mengatur. Semua atas kuasa Allah, kita harus sabar selalu. Ikhlas."tambahnya sambil menikmati seteguk Fanta.

 Teh sudah siap. Aku menuju ke ruang berkumpul dan meminta tolong Lina untuk mengantarkan teh hangat. Aku bergabung dan mendengarkan ceramah dari Bang Praba. Bang Praba masih lancar dalam berceramah, memberikan semangat untuk Ira dan abangnya. Kami mendengarkan dengan seksama. 

"Memang, sangat sulit untuk menerima keadaan. Apalagi ketika orang yang paling kita sayangi telah meninggalkan kita dan itu adalah orang tua kita sendiri. Namun bagaimana lagi, Kita jauh dari orang tua. Sekarang yang harus kita lakukan adalah terus melangkah ke depan. Buat orang tua bangga. Meskipun beliau sudah di akhirat, namun beliau pasti bangga jika melihat kita sukses menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Terus berdoa untuk beliau, kawan." kata Praba.

Aku melihat Ira dan abangnya tertunduk sedih. Melihat wajah Ira, aku teringat dengan curhatannya semalam. Dia bercerita tentang orang tuanya, tentang bapaknya.

"Bapakku terkena ginjal. Kini sudah tak bisa apa-apa lagi. Beliau hanya bisa berbaring. Aku kangen sekali. Sudah satu tahun lebih kami tak bertemu." kata Ira.

Aku sedih mendengar curhatannya. Jika aku berada di posisinya, pasti aku sudah bergegas pulang kampung untuk menemui orang tuaku, terutama bapakku. Apapun yang terjadi. Tak bisa kubayangkan betapa sabarnya perempuan ini. 

Irawati. Sabar kawan... Teruslah songsong masa depan. Tunjukkan pada dunia, tunjukkan pada orang tuamu. Kamu bisa. Selalu berdoa untuk beliau. Beliau selalu ada dihatimu, kawan... Kami juga ada di sisimu. Selalu menemanimu. Dalam suka dan duka. __

Tidak ada komentar:

Posting Komentar